6.12.16

Sebuah Permainan



Kira-kira sudah ratusan motor yang melewati lampu merah di bawah sana, menurut perhitunganku. Dia juga menatap kaca yang sama, terkadang mencoba melakukan hal yang serupa denganku karena penasaran seperti apa rasanya. Sampai dia menyadari bahwa ternyata rasa bosan datang lebih cepat dari yang dia perkirakan sebelumnya. Akhirnya, dia bersuara. Permainan pun dimulai.

---

“Kenapa diam saja, sih?”

Tidak, kamu salah lagi. Kali ini kamu benar-benar salah sangka. Harusnya kamu tidak menanyakannya, itu bukan kata-kata yang perlu kamu ucapkan, sungguh.

“Rahasia, ya?”

Mungkin bisa dibilang begitu, tapi bukan itu maksudku. Sebenarnya, kamu sudah paham kan? Tidak ada yang perlu aku sembunyikan darimu, begitu pula sebaliknya. Berhentilah berpura-pura, menurutku itu tidak lucu.

“Hei, mau sampai kapan begini terus?”

Jangan khawatir, aku tidak akan pernah menyesal karena telah percaya padamu. Aku akan selalu percaya bahkan melebihi rasa percayamu pada diri sendiri. Kamu percaya padaku juga kan?

“Jadi kamu membenciku? Benar kan?”

Usaha yang bagus, tapi aku tidak akan bisa membencimu meski kamu sendiri yang terus-menerus memaksaku. Bagaimanapun juga, aku tidak mau kalah darimu. Kalau kamu sengaja menyerah, mungkin saja ceritanya akan sedikit berbeda.

“Baiklah, sekarang aku menyerah. Senang?”

Sama sekali tidak, bodoh.

“Sudah ah, sampai jumpa lagi. Kapan-kapan, mungkin…”

Benar, pergi saja sana yang jauh. Tidak akan ada kapan-kapan kecuali kamu benar-benar memahaminya. Ah, padahal aku sangat yakin bahwa sebenarnya kamu paham tapi sengaja melakukannya padaku. Kamu sendiri yang memulai permainan ini, tentu tahu peraturannya. Tanpa perasaan itu, semua akan berakhir dengan sia-sia. Tapi tetap saja aku menyukaimu, mungkin selamanya.

“Hmm, kamu yakin tidak mau mengucapkan kata-kata perpisahan?”

Aduh, kamu ternyata memang gila. Siapa sih yang bilang ingin berpisah? Kalau kamu mau pergi, pergi saja. Toh, aku tidak pernah menganggapnya sebagai perpisahan karena semua petualanganmu itu sementara.

“Katakanlah sesuatu atau kamu akan menyesal…”

Sudah kubilang, kamu tidak akan pernah bisa memaksaku. Kamu hanya belum menyadarinya, mungkin sekarang memang lebih baik kamu terus berbicara seperti itu, menanyakan hal-hal yang tidak masuk akal berulang-ulang dan aku akan tetap diam.

“Apakah aku sama sekali tidak ada artinya bagimu?”

Benar, pertanyaan semacam itulah yang aku harapkan.

“Begini, aku tidak akan pernah tahu apa yang kamu pikirkan jika kamu tidak mengatakannya…”

Bohong, kita sudah bertahan selama ini dan semua baik-baik saja. Entah bagaimana, kita selalu berhasil menemukan cara untuk saling memahami perasaan masing-masing meski tanpa kata-kata.

“Tahu tidak, sekarang aku memikirkan apa?”

Bagaimana caranya supaya kamu bisa menang dariku?

“Aku membayangkan andai kita tidak pernah bertemu, andai kita tidak pernah terperangkap dalam situasi seperti ini, andai kita akan mati dengan tetap menjadi orang asing satu sama lain…”

Kamu bebas membayangkan apapun yang kamu mau, tapi nyatanya kamu akan tetap bertemu denganku. Kamu akan tetap bertemu denganku, dan hanya denganku. Jika tidak terjadi sekarang, maka di kehidupan berikutnya pasti kamu akan bertemu denganku. Selamat, kamu telah membuang waktumu dengan pengandaian yang sia-sia.

“Kamu pasti pernah memikirkannya juga kan?”

Aku sangat menyayangimu, percayalah.

“Mungkin saja aku lebih bahagia bersama orang lain. Seharusnya aku melewatkanmu dan menunggu lebih lama, tidak perlu tergesa-gesa untuk memutuskan sebuah pilihan…”

Maka aku hanya perlu menunggumu lebih lama daripada biasanya. Bukan masalah besar jika kamu menginginkan lebih, manusia memang tidak pernah merasa puas.

“Kenapa harus kamu sih? Dan kenapa harus aku?”

Aku tidak begitu yakin, tapi menurutku tidak ada jawaban yang pantas. Anggap saja semua ini terjadi karena kebetulan. Jangan mempersulit diri sendiri dengan pertanyaan berat, kamu belum tentu bisa mendapatkan jawaban yang sepenuhnya melegakan.

“Rasanya, aku jadi ingin mati saja deh… Aku tidak mau bertemu siapa-siapa dan selamanya akan sendirian…”

Jangan, aku tidak tega melihatmu menjadi arwah penasaran.

“…”

Kenapa tiba-tiba diam? Apakah sekarang giliranku?

“Aku sebenarnya sangat menyukai keheningan ini, tenang dan nyaman terbungkus dalam rasa aman, merangkul kita dalam ketidaktahuan yang menyenangkan…”

Akhirnya kamu memahaminya juga, aku senang sekali.

“Ah, maksudku kita selalu menduganya sebagai ketidaktahuan tapi sebenarnya kita sengaja melakukan itu karena sudah tidak ada lagi hal yang perlu kita pastikan…”

Sejujurnya, sekarang aku mulai merasa kalah darimu. Hei, kapan giliranku?

“Aku ingin mati karena terlalu senang, dan ketika hidup kembali aku akan mengulangi kesalahan yang sama. Aku ingin mati lagi karena terlalu senang dan kamu tahu apa sebabnya…”


Baiklah, sepertinya sekarang memang sudah giliranku. Bersiaplah, aku akan mulai bertanya mengenai teka-teki yang serupa dengan milikmu. Permainan harus terus berlanjut, karena begitulah cinta selalu mempermainkan kita sampai nanti, kita akan selalu khawatir dan menduga hal-hal buruk menyakitkan yang mungkin bisa saling kita lakukan diam-diam dan memastikan kesetiaan dan menanyakan apakah cinta hari ini masih sama dengan yang kemarin dan menangis karena takut bila esok tidak ada cinta yang tersisa dan menjalani hari dengan kesadaran penuh meski tahu bahwa satu-satunya aturan dalam permainan ini adalah tidak ada yang boleh menang. Cintalah yang harus selalu menang, dan kita berdua sama-sama bersedia dipermainkan olehnya dengan sukarela.

26.11.16

You Are So Cruel


    We have same taste, we both love to talk about love. And what kind of love that we like? Yes, a melancholy one, full of sadness and desperation but still can make us happy. No, maybe I’m wrong. Do you think that thing absolutely make us happy precisely? That ‘only thing’. The only thing that make us happy to talk about love is sadness and desperation itself. Or am I wrong again?

 This is getting harder, more complicated than before. I resemble you, a person who lonely but happy to keep imagining what world can be in fantasy, where no one can ever lay their hands on the story. We both know that’s all we have and that’s all we ever wanted in this life. Freedom to live in our own mind which may never be real but can give us the most real feelings. And now, look what you have done! You shot them all in pieces! You ruined my universe! The only one I have!

   See, if you don’t love me just say it bluntly! In front of my face, in reality. Don’t ever make me uncertain again of anything about you nor about our strange relationship in my heaven of illusion. Did you know, I’ve always been wondering about how two people in this real world, who have same likes and dislikes, both are truly stranger too, but magically understand without a doubt though never seeing each other? I believe that can happen. Certainly!

   I had believed that man was you. I had believed that you have read my words. I had believed that she was me, a special girl that you’ve been writing about all the time. Did you ever wonder how afraid I am to deal with my own faith? To against my own faith? Did you ever care? Nope!

   All I want is make this story to have a happy ending. Unfortunately, I don’t have a heroic character to make it happen, even in my own dreams. Once again, I’m just a dreamer. That’s mean I need so much sleep now. Ah, maybe you too?

24.11.16

Cuti Kuliah

  Saya paling takut jika menjadi orang bodoh, soalnya saya benci dibohongi. Yah, meskipun menjadi orang pintar juga bukan jaminan, karena mungkin korban kebohongan terbesar justru berasal dari orang-orang yang mengaku dirinya pintar.

  Makanya, saya merasa sedih ketika sedang susah-susah berusaha mencari arti kepintaran sejati malah dituduh bercita-cita menjadi orang bodoh. Padahal saya memang sudah bodoh sih, jadi sebenarnya tidak perlu repot-repot berburuk sangka. Saya cuma penasaran, apakah dengan membaca buku-buku yang tidak disuguhkan di kampus atau menonton film-film yang bukan untuk memenuhi tugas kuliah itu bisa membuat saya sedikit lebih pintar atau tidak.

  Karena saya bodoh, saya menduga bahwa semua hal itu pasti bisa mengubah nasib saya yang malang. Mungkin saya memang keliru, buktinya tidak ada nilai-nilai A atau IPK cumlaude sebagai hadiahnya. Bahkan, saya malah harus remidial membaca ulang buku-buku atau menonton film-film yang maknanya disembunyikan dengan rapi dan indah. Saya selalu percaya, manusia adalah konten yang tidak akan pernah habis dipelajari, dan kebanyakan dari karya sastra dan seni tersebut telah berbaik hati merangkum segala pencapaian yang pernah ada dalam usahanya untuk memahami manusia, tentunya melalui penelitian dari berbagai aspek terlebih dahulu, lalu diolah dan disuguhkan ke dalam bentuk yang menurut saya amat menyenangkan.

  Toh, pada akhirnya semua ini memang soal pilihan, dan setiap manusia selalu mempunyai pilihannya sendiri. Barangkali ini cuma masalah perbedaan dalam memilih cara dan kesukaan masing-masing untuk memahami manusia.

  Yah, intinya sih, sadarilah bahwa banyak sekali hal yang sama-sama belum kita ketahui di luar sana, banyak kebohongan-kebohongan yang tanpa disadari mungkin akan menipu kita pelan-pelan entah demi kepentingan siapa.

  Tidak perlu bingung mencari contohnya, mulailah dari diri sendiri. Kalau kita masih merasa pintar hanya karena nama kita akan (sedikit) lebih panjang dengan gelar kebanggaan, sementara kita tidak pernah benar-benar peduli pada apa yang seharusnya kita pahami dengan baik, artinya kita telah ditipu habis-habisan oleh yang namanya kuliah. Selanjutnya, para pembohong di luar sana dengan segera akan memangsa kita karena terlihat sebagai sasaran yang empuk.

  Nah, tunggu apa lagi? Jangan sia-siakan waktu yang tersedia hanya untuk menertawakan saya yang memang sengaja cuti kuliah untuk membaca buku dan menonton film ini. Karena tugas kita yang sebenarnya adalah mencari para pembohong yang jahat dan egois itu, supaya jumlah korban yang tertipu semakin berkurang. Karena ternyata orang bodoh dan orang pintar itu sama-sama tidak suka dibohongi, dan juga sama-sama bisa membohongi.

22.11.16

The End

  So, this is really comes true. I’ve never believed before you said that words, finally. Now, what story will we make? Still a melancholy one like usual or trying something new like a bold and wild adventures in the jungle? Of course, whatever path we choose it doesn’t matter anymore. Everything will be good as last as happy ending because we are together, never be apart.

  It starts awkwardly, our first conversation in reality. We can’t stop looking each other with eyes of astonishment. We throwing our best smiles endlessly with or without clear reasons. We sharing our own dreams, arranging those with beautiful fantasies then promising to embrace all with great collaboration of effort. We absolutely having a heavenly day ever, forever.

20.11.16

Biskuit Selai Kacang

Uang sakunya hampir habis. Bulan ini selalu sama dengan bulan-bulan yang lalu. Dia hanya mempunyai satu lembar uang kertas warna hijau. Dua puluh ribu rupiah untuk bertahan sampai hari Sabtu. Dia memandangi lagi laki-laki yang terlukis di lembaran itu, bertanya-tanya adakah cara untuk mengenyangkan perutnya selama sepuluh hari ke depan. Dia memejamkan matanya sejenak lalu membuang nafas pendek.  Kini sorot matanya tampak lebih bersinar dan penuh keyakinan. Dia mengambil kunci motornya dan segera melesat menembus malam.

Dia mendengus kesal, tampak kecewa dengan apa yang dilihat. Semula dia berpikir masih ada sisa uang yang bisa diambil dari mesin penarik uang di sudut minimarket. Sekarang semuanya jadi lebih rumit, jari-jarinya sedikit ragu untuk sekadar meraba kemasan warna-warni yang tersusun di rak-rak putih. Dia memang dikenal sebagai pemuda yang mudah merasa bersalah tanpa alasan yang pantas. Sejak memasuki pintu kaca dan mendengar selamat datang dari kasir, sebenarnya dia sudah bersiap-siap untuk kemungkinan terburuk. Entah mengapa yang dikhawatirkan justru menjadi kenyataan, dia harus membeli sesuatu dari minimarket tersebut. Dia merasa tidak enak pada banyak hal; pada kasir yang mengawasinya, pada orang-orang yang sempat mengantri untuk menarik uang, pada waktu yang terbuang untuk sampai di tempat sekarang ia berpijak, dan tentu saja pada gambar lucu di bungkus makanan yang sudah menatapnya bahkan sebelum ia mendorong gagang besi yang mampu membunyikan bel bersuara pendek dengan dua nada.

Dengan cermat ia meneliti seluruh kata-kata, angka-angka dan tanggal berakhirnya penawaran. Setelah lima kali mengitari rak yang sama, dia berhenti. Di bagian paling bawah akhirnya senyum itu mengembang. Tanpa ragu dia mengambilnya, lalu berjalan ke kasir yang tampak bahagia karena segala kecemasan tentang hal-hal buruk yang mungkin dilakukan oleh seorang pemuda yang suka mondar-mandir dan tampak miskin itu sirna.


Dia sampai di rumah dengan selamat. Pelan-pelan dia membuka plastik warna merah itu dengan penuh kegembiraan. Tiba-tiba dia menyadari bahwa mungkin saja hidupnya akan segera berakhir. Dia ingat ucapan Pak Ustadz tentang kaitan rezeki dengan orang mati saat dulu ia masih ingusan. Katanya, semua rezeki duniawi seseorang bakal habis dan itu terjadi ketika seseorang tadi sudah tidak berada di dunia. Dia merasa bersalah karena telah bertindak ceroboh dan kelewatan, mengambil terlalu banyak rezeki sekaligus. Dia tak pernah menyangka bahwa isi dari plastik merah itu lebih dari sekadar biskuit selai kacang. Baginya itu adalah kejutan terbaik yang pernah direncanakan meski dia tidak ulang tahun. Dia sekarang merasa bersalah karena berpikir bisa makan enak seperti bangsawan. Bagaimana tidak, biskuit selai kacang dengan ukuran mini, dengan ketebalan selai yang pas, dengan sedikit rasa garam di pinggirnya itu tentu benar-benar berhasil menyelamatkan hidupnya. Tidak ada lagi uang kertas, namun ada lima puluh keping biskuit dan sepuluh hari tersisa. Artinya, dia akan kenyang dengan memakan lima keping biskuit selai kacang setiap hari. Barangkali dia kelaparan, tapi dia melakukannya dengan cara terhormat. Ide untuk menjadi bangsawan yang hanya mau melahap makanan seukuran jari tentu saja merupakan penemuan terhebat sepanjang sejarah. Dia tertawa, senang.

Don't Go, I Will Feel This
















This Page Intentionally Left Blank
















18.11.16

Sudut Terang Di Ruang Gelap


Diam-diam dia menyukai laki-laki itu, idola dari semua gadis di sekolahnya. Dia pernah berpikir untuk mengutarakannya, berkali-kali. Sayangnya, niatan itu terpaksa dia urungkan ketika menyadari sesuatu saat bercermin. Selain takut ditolak, dia juga malu karena tidak lebih pintar dari semua gadis yang mengelilingi pujaan hatinya. Karena itulah dia lalu memutuskan untuk rajin tersenyum kepada siapapun, dimanapun. Dia pikir itu satu-satunya cara untuk menjadi orang baik, setidaknya memang benar bahwa itu adalah salah satu cara untuk terlihat seperti orang baik. Sejak saat itu dia terus melakukannya. Selalu tersenyum, tanpa lelah. Menangis pun tersenyum. Sampai-sampai semua orang dibuatnya bingung dan penasaran, apa yang tersembunyi di otaknya. Katanya, tidak ada lagi yang bisa dilakukan di dunia ini kecuali tersenyum sampai mati. Karena sejak lahir dia terlanjur tidak cantik dan tidak kaya. Dia juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjadi pintar, tapi gagal juga. Akhirnya dia memilih jalan yang tersisa, menjadi orang baik.

Padahal, dunia ini tidak sehitam-putih yang dia bayangkan. Tidak ada orang yang benar-benar baik atau benar-benar jahat. Menurutku sih, dia sudah ditipu habis-habisan oleh gagasannya sendiri tentang takdir yang tidak bisa diubah. Dia setengah-setengah, seperti orang yang tidak percaya Tuhan tapi takut pada setan. Maksudku, kenapa sih dia harus menyerah untuk menjadi pintar? Di antara semua takdir, hal itulah yang paling bisa diubah, bahkan bisa mengubah takdir lainnya. Dia terlalu cepat mengambil kesimpulan dan tidak mau mendengarkan nasehat orang. Makanya aku jadi kesal, lalu aku bilang padanya tentang semua hal yang kupikirkan. Dia lalu tersenyum. Bayangkan, sudah susah-susah kujelaskan sedemikian rupa agar dia mengerti, agar dia bisa menjadi orang baik sungguhan, bukan hanya orang yang terus-terusan tersenyum, agar dia sadar bahwa dia tidak boleh menjadi orang baik dengan alasan seperti itu, agar dia tidak terkejut ketika mengetahui fakta bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya orang baik, agar dia percaya bahwa selama ini yang dipikirkannya itu keliru, tapi dia cuma tersenyum! Satu kali senyuman tipis!

Aku ingin sekali memukul wajahnya yang seolah paham tapi tetap tidak mau menurut itu dengan buku catatan di tanganku sebisa mungkin melalui celah-celah sempit jeruji besi yang sedikit berkarat. Hampir saja, ketika dia tiba-tiba berkata,

“Kalau begitu, artinya selalu ada yang lebih hitam atau lebih putih, kan? Makanya, saya suka di sini karena ruangannya putih semua. Mbak boleh pintar tapi kalau jahat, sama saja dong? Gila, kayak saya hehe”


Aku pura-pura tidak mendengar, mencoba cuek pada bagaimana caranya menggerakkan sendi-sendi terkutuk di rautnya ketika mengatakan hal tersebut dengan manis dan percaya diri sebelum akhirnya tersenyum kembali. Sialan, sekarang aku jadi penasaran sebenarnya siapa yang gila.

9.11.16

Percuma

pertanyaan-pertanyaan itu memburuku
tanpa ampun

langit menangis
juga mataku

padahal tak ada yang tahu
cara menipu Tuhan

To A Stranger Who I Wanna Know







This is really weird, I don’t even know you but I’m sure that I love you.

Maybe you don’t know me as well as I don’t know you and maybe you don’t ever love me as I love you forever.

I never talk to you directly, but I’ve got some feelings that we actually having a nice conversation undirectly.

I don’t know why is it should be you,
and I just think that you know the answer.






p.s :



Don’t make me look like a fool or a weirdo or a crazy girl or someone who desperately wants to find happiness fantastically as beautiful as it can happen in a fairytale. Please, do me a favor.
I always know that you know what I wanna know.

The Weirdest Girl In The World

she is beautiful
but wants to be ugly

she likes to be a dumb
when she knows how to be a genius

she doesn’t always greet everyone
nor says happy birthday to people she loves

she never smiles
even she has a lot of reasons

she acts like a loner among her thousand allies

she actually falls in love everyday
but keeps it in a cold and distant frames

she sings well in the moment of solitude
then cries in a crowd

she has the ability to compose rhyme that
promotes people to judge her easily

she once was the happiest angel,
yet wants the others to have it as much as she has

she gives it all and doesn’t want to look good

she chooses what nobody chooses

perhaps she is just too kind nor naive,
so afraid to be a monster that eats anything

and we don’t know the truth,
only that she is weird

7.11.16

Requiem of Yesterday

in between life, in between dream
tick-tock of clock could not help it
for ensure the happiness nor prevent the darkness

same pattern, repeated
always everywhere in everyone
forworn was forbidden, even no one did not
realize how the whirligig works

till years has been passing by
over the innocent child in the adventure
who got trapped in a cheesy-cruel script
all faces then all stories,
embracing sadness to wildness
kill or be killed, never a chance for escape
but forever ceaselessly pain

if hopes could restore the magical time,
wounds would be an old gold one
but there was only tomorrow left,
and only God could do the good rest

sorry,
no mercy to fiend friends
nor sweet words which too real to be unreal

“everything will not be okay”

unless this world was a carnival of fantasy
with an ecstasy of consciously

16.6.16

Pulang

antara langit dan bumi,
ada jarak yang tak akan habis dilesat waktu
dalam sepi akan terdengar,
apa-apa yang bisa diciptakan bayang-bayang

sendiri, tidur lelap entah sampai kapan
bersama mereka yang juga menunggu entah apa
entah siapa dan bagaimana

manusia akan selalu menggoreskan luka
meninggalkan hitam dan omong kosong
lalu pada janji yang terlanjur pergi
ada kata yang terselip, tak terucap

sekiranya, sebelum semua benar-benar hilang
beri aku kesempatan untuk menyampaikan
maaf dan terimakasih

7.3.16

Surat Cinta

Yogyakarta, 7 Maret 2016





Halo, sahabat paling setia dan tulus yang pernah kukenal.

Sudah lama sekali yaa! Rasanya sudah berabad-abad kita tidak bersua dalam kata. Kamu memang sepayah-payahnya sahabat, tega membuatku berprasangka buruk tentangmu. Sempat terbesit di benakku bahwa kamu sudah melupakanku, tentu tidak kan? Aku sangat yakin kita adalah sahabat sejati sejak lahir, tak bisa dipisahkan dan bersifat abadi.

Kamu ingat kan, terakhir kali kamu bercerita padaku tentang ingar-bingar dunia perkuliahan yang membuatmu sedikit kesulitan untuk beradaptasi. Bertemu orang-orang baru yang tak terduga, mengikuti segala kegiatan yang kamu sukai lalu kelimpungan membagi waktu, selalu kesiangan dan tidak pernah berhasil membaca materi kuis sampai tuntas, serta sedikit cerita cinta yang kadang terselip di sela kesibukanmu. Sahabatku, kali ini cerita seperti apa yang sudah kamu siapkan? Cerita yang barangkali hanya bisa dibagi denganku? Jangan sungkan, jika bukan denganku kepada siapa lagi kamu akan berterus terang?

Sejujurnya, aku mengirim surat duluan karena penasaran dengan keadaanmu saat ini. Kita berjarak ribuan kilometer tapi kabar yang dibawa angin bisa-bisanya sampai di telingaku. Katakan, apakah hal itu benar? Aku tidak akan menghakimi atau menyudutkanmu. Sebagai sahabat yang baik tentu saja aku harus melihat dari segala sisi terlebih dahulu, menimbang-nimbang semua yang bisa ditimbang lantas menyusun kata-kata yang pantas untuk diungkapkan. Ah, jika memang kamu yang nakal tentu saja aku akan mengatakannya, tanpa ragu. Jangan harap aku akan mendukungmu melakukan tindak kriminal, wek! Hehehe

Hmm, bagaimana jika kuberi beberapa saran? Sebagai orang yang mempunyai empati tinggi (aku barusan tes kepribadian dan hasilnya menunjukkan itu, tentu saja aku percaya pada hal-hal baik hehe), aku bisa merasakan persis yang kamu rasakan ketika menghadapi hal tersebut. Dulu kamu pernah bilang ingin menjadi dewasa kan? Ingin berhenti menjadi bocah lugu yang tidak tahu apa-apa. Nah, menurutku inilah saat yang tepat, kamu harusnya berterimakasih pada Tuhan karena telah memberi momentum yang ciamik. Memang rasanya berat, di usia yang semakin bertambah, kamu dituntut untuk matang, menjadi bijak dan merelakan kesenangan-kesenangan bocah yang begitu surgawi. Kamu tidak boleh lari dari takdirmu sendiri! Kamu harus berani! Menjadi dewasa yang dibutuhkan hanya keberanian! Keberanian untuk menghadapi apapun dengan segala resikonya! Kalau kamu takut, kamu tidak akan kemana-mana, tidak akan menjadi siapa-siapa, selamanya. Mau kamu hidup begitu? Makanya, ketakutanmu akan rasa sakit, sedih, tidak diterima, tidak beruntung, kecewa, dikecewakan, dikhianati atau gemar menyangsikan keadilan Tuhan, memang harus segera dihilangkan. Kamu harus mulai membiasakan diri untuk berpikir secara rasional (karena kamu sudah melewati masa pubertas). Yah, sejauh ini kamu percaya kata-kataku kan? Aku sudah susah-susah memikirkannya lho.

Dan lagi, kamu tidak perlu ambil pusing mengenai peruntunganmu dalam dunia percintaan. Aku serius lho ini! Dengar ya, menurutku yang paling kamu butuhkan saat ini adalah orang-orang baik yang mempunyai satu tujuan, untuk terus berkembang. Lebih baik kamu habiskan buku-buku kakakmu atau film-film yang belum sempat kamu tonton dari dulu, daripada rajin berkhayal setiap hari tentang; mungkin saja hari ini adalah hari dimana aku akan bertemu dengan pangeran pujaan  hati (sudah kubilang, jangan percaya dongeng apalagi dongeng tentang pangeran berkuda putih).

Sudah ah, kira-kira begitu. Sudah aku sampaikan semuanya, jangan lupa dibalas! Dan jangan lupa bersyukur kamu mempunyai sahabat sepertiku :p
                                                                                                                                  


                                                                                                                                                               Dari sahabatmu,


                                                                                                                                                                          Aku