6.12.16

Sebuah Permainan



Kira-kira sudah ratusan motor yang melewati lampu merah di bawah sana, menurut perhitunganku. Dia juga menatap kaca yang sama, terkadang mencoba melakukan hal yang serupa denganku karena penasaran seperti apa rasanya. Sampai dia menyadari bahwa ternyata rasa bosan datang lebih cepat dari yang dia perkirakan sebelumnya. Akhirnya, dia bersuara. Permainan pun dimulai.

---

“Kenapa diam saja, sih?”

Tidak, kamu salah lagi. Kali ini kamu benar-benar salah sangka. Harusnya kamu tidak menanyakannya, itu bukan kata-kata yang perlu kamu ucapkan, sungguh.

“Rahasia, ya?”

Mungkin bisa dibilang begitu, tapi bukan itu maksudku. Sebenarnya, kamu sudah paham kan? Tidak ada yang perlu aku sembunyikan darimu, begitu pula sebaliknya. Berhentilah berpura-pura, menurutku itu tidak lucu.

“Hei, mau sampai kapan begini terus?”

Jangan khawatir, aku tidak akan pernah menyesal karena telah percaya padamu. Aku akan selalu percaya bahkan melebihi rasa percayamu pada diri sendiri. Kamu percaya padaku juga kan?

“Jadi kamu membenciku? Benar kan?”

Usaha yang bagus, tapi aku tidak akan bisa membencimu meski kamu sendiri yang terus-menerus memaksaku. Bagaimanapun juga, aku tidak mau kalah darimu. Kalau kamu sengaja menyerah, mungkin saja ceritanya akan sedikit berbeda.

“Baiklah, sekarang aku menyerah. Senang?”

Sama sekali tidak, bodoh.

“Sudah ah, sampai jumpa lagi. Kapan-kapan, mungkin…”

Benar, pergi saja sana yang jauh. Tidak akan ada kapan-kapan kecuali kamu benar-benar memahaminya. Ah, padahal aku sangat yakin bahwa sebenarnya kamu paham tapi sengaja melakukannya padaku. Kamu sendiri yang memulai permainan ini, tentu tahu peraturannya. Tanpa perasaan itu, semua akan berakhir dengan sia-sia. Tapi tetap saja aku menyukaimu, mungkin selamanya.

“Hmm, kamu yakin tidak mau mengucapkan kata-kata perpisahan?”

Aduh, kamu ternyata memang gila. Siapa sih yang bilang ingin berpisah? Kalau kamu mau pergi, pergi saja. Toh, aku tidak pernah menganggapnya sebagai perpisahan karena semua petualanganmu itu sementara.

“Katakanlah sesuatu atau kamu akan menyesal…”

Sudah kubilang, kamu tidak akan pernah bisa memaksaku. Kamu hanya belum menyadarinya, mungkin sekarang memang lebih baik kamu terus berbicara seperti itu, menanyakan hal-hal yang tidak masuk akal berulang-ulang dan aku akan tetap diam.

“Apakah aku sama sekali tidak ada artinya bagimu?”

Benar, pertanyaan semacam itulah yang aku harapkan.

“Begini, aku tidak akan pernah tahu apa yang kamu pikirkan jika kamu tidak mengatakannya…”

Bohong, kita sudah bertahan selama ini dan semua baik-baik saja. Entah bagaimana, kita selalu berhasil menemukan cara untuk saling memahami perasaan masing-masing meski tanpa kata-kata.

“Tahu tidak, sekarang aku memikirkan apa?”

Bagaimana caranya supaya kamu bisa menang dariku?

“Aku membayangkan andai kita tidak pernah bertemu, andai kita tidak pernah terperangkap dalam situasi seperti ini, andai kita akan mati dengan tetap menjadi orang asing satu sama lain…”

Kamu bebas membayangkan apapun yang kamu mau, tapi nyatanya kamu akan tetap bertemu denganku. Kamu akan tetap bertemu denganku, dan hanya denganku. Jika tidak terjadi sekarang, maka di kehidupan berikutnya pasti kamu akan bertemu denganku. Selamat, kamu telah membuang waktumu dengan pengandaian yang sia-sia.

“Kamu pasti pernah memikirkannya juga kan?”

Aku sangat menyayangimu, percayalah.

“Mungkin saja aku lebih bahagia bersama orang lain. Seharusnya aku melewatkanmu dan menunggu lebih lama, tidak perlu tergesa-gesa untuk memutuskan sebuah pilihan…”

Maka aku hanya perlu menunggumu lebih lama daripada biasanya. Bukan masalah besar jika kamu menginginkan lebih, manusia memang tidak pernah merasa puas.

“Kenapa harus kamu sih? Dan kenapa harus aku?”

Aku tidak begitu yakin, tapi menurutku tidak ada jawaban yang pantas. Anggap saja semua ini terjadi karena kebetulan. Jangan mempersulit diri sendiri dengan pertanyaan berat, kamu belum tentu bisa mendapatkan jawaban yang sepenuhnya melegakan.

“Rasanya, aku jadi ingin mati saja deh… Aku tidak mau bertemu siapa-siapa dan selamanya akan sendirian…”

Jangan, aku tidak tega melihatmu menjadi arwah penasaran.

“…”

Kenapa tiba-tiba diam? Apakah sekarang giliranku?

“Aku sebenarnya sangat menyukai keheningan ini, tenang dan nyaman terbungkus dalam rasa aman, merangkul kita dalam ketidaktahuan yang menyenangkan…”

Akhirnya kamu memahaminya juga, aku senang sekali.

“Ah, maksudku kita selalu menduganya sebagai ketidaktahuan tapi sebenarnya kita sengaja melakukan itu karena sudah tidak ada lagi hal yang perlu kita pastikan…”

Sejujurnya, sekarang aku mulai merasa kalah darimu. Hei, kapan giliranku?

“Aku ingin mati karena terlalu senang, dan ketika hidup kembali aku akan mengulangi kesalahan yang sama. Aku ingin mati lagi karena terlalu senang dan kamu tahu apa sebabnya…”


Baiklah, sepertinya sekarang memang sudah giliranku. Bersiaplah, aku akan mulai bertanya mengenai teka-teki yang serupa dengan milikmu. Permainan harus terus berlanjut, karena begitulah cinta selalu mempermainkan kita sampai nanti, kita akan selalu khawatir dan menduga hal-hal buruk menyakitkan yang mungkin bisa saling kita lakukan diam-diam dan memastikan kesetiaan dan menanyakan apakah cinta hari ini masih sama dengan yang kemarin dan menangis karena takut bila esok tidak ada cinta yang tersisa dan menjalani hari dengan kesadaran penuh meski tahu bahwa satu-satunya aturan dalam permainan ini adalah tidak ada yang boleh menang. Cintalah yang harus selalu menang, dan kita berdua sama-sama bersedia dipermainkan olehnya dengan sukarela.